Hatiku dilanda resah, sejak aku tahu bahwa penyakit sahabatku itu benar-benar akut. Gendis Ningtyas, aku biasa memanggilnya Gendis. Seperti namanya, Gendis memang sahabat yang sangat manis, baik, tulus, selalu mengalah dan selalu tabah akan apa yang Tuhan berikan padanya. Termasuk, masalah akan penyakitnya yang bisa dikatakan mematikan. Gendis hanya berkata kepadaku kalau hatinya hanya mengalami kelainan biasa, begitulah Gendis.
Queentina Jasmine Cerrynia, aku biasa dipanggil Jasmine. Aku duduk di bangku salah satu universitas swasta di Bandung. Gendis adalah teman seperjuanganku,kita bersama semenjak bertemu saat SMP. aku biasa cerita semua tentang kehidupan ku kepadanya. Salah satunya tentang cowok idamanku sejak SMA yang kini juga satu angkatan denganku. Dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun Gendis dan Jasmine selalu bareng.
Raditya Banyu Wiworojati, inilah cowok idamanku yang sekaligus teman seangkatan sekarang. Tetapi Radit ini hanya cowok idaman, bukan cowok yang aku cintai. Entahlah kenapa aku tak pernah bisa cerita hal ini ke Gendis. Prabu Tjokro Pamungkas, adalah cowok fakultas kedokteran yang misterius, njawani, dan yang aku cintai. Sejak awal bertemu Prabu, aku sempat ada rasa yang mengganggu hari-hariku. Tapi aku hanya memendam rasa itu sampai detik ini.
Karena fakultas kami dan fakultas Prabu bersebelahn, kita punya satu genk yang selalu solid. Jasmine, Gendis, Radit, Dan Prabu. Rasa cintaku pada Prabu makin menggebu seiring jalan. Hingga pada suatu ketika....
"Gimana Bu, Gendis baik-baik aja kan ? dia nggak apa-apa kan ?" tanyaku pada Prabu, ketika menemani Gendis di rumah sakit setelah pingsan di kantin. "Aku juga nggak tau Jas." jawab Prabu. "Lho kok muka kamu pucet banget Bu?" tayaku pada Prabu. "Aku khawatir banget sama Gendis, gimana kalau dia sampai kenapa-napa? ya ampun... Gendisku sayang.." jawab Prabu.
Serentak tubuhku menjadi kaku. Seperti habis terkena tegangan listrik. "Sayang?" tanyaku. "Iya, jujur Jas, aku suka sama Gendis." tutur Prabu. "ooh.." jawabku.
Setelah insiden di rumah sakit itu aku menelan dua kenyataan pahit yang mau tak mau harus ku terima, pertama ternyata Gendis mengidap kelainan hati akut, kedua, Prabu ternyata suka sama Gendis, apalagi Prabu minta aku buat nyomblangin mereka berdua.
Belakangan ini Prabu udah mulai ngedeketin Gendis. Prabu ngerahin semua perhatiannya ke Gendis. Lalu, apa yang bisa aku lakukan ? Aku hanya bisa mencoba sok tegar dan agak menjauh dari merek.Dan, Raditlah yang menampung semua isi hati yang rasanya sudah ingin kubuang. Aku menceritakan semua pada Radit.
Hinga pada suatu soredi cafe tempat biasa kita ngumpul. Prabu dan Gendis datang dengan bergandeng tangan. Serontak aku kaget bukan main. Hingga saatnya malaikat penolongku, Radit datang "Hai semua, hai Bu, katanya kamu mau kasih kabar penting?" sergap Radit yang baru datang. "Gini semua. Prabu Tjokro Pamungkas dan Gendis Ningtyas sudah resmi berpacaran." jelas Prabu selengkap-lengkapnya. "Ooh.. selamat deh." sahutku. "Kalau gitu aku duluan ya? Mau nganter adek ke tempat les ni." alasanku untuk enyah dari tempat itu. "Oke." semua menyahut. Aku segera bergegas keluar dari ruangan itu, sebelum semua air mataku tumpah berceceran. Aku berlari memasuki everest pemberian papa saat aku berumur 17 tahun. Kukendarai sekencang-kencangnya, hingga akhirnya, entah karena terlalu frustasinya aku, kepalaku terasa sangat pusing. Saat aku membuka mata hanya ada wajah Radit.
"Gendis mana? aku dimana? Prabu mana?" tanyaku bertubi-tubi. "Kamu udah 2hari, sebelumnya kamu operasi Jas, Gendis juga masuk rumah sakit 7jam setelah kamu kecelakaan, dia kambuh lagi." ." Dit, kenapa badanku jadi berat gini?" tanyau, tapi Radit tak menjawab. Hingga, setelah aku desak Radit pun menceritakan semua yang telah aku alami dan aku terima. Aku divonis lumpuh, bahkan mati. Beberapa saat kemudian Prabu datang dan memelukku, saat itulah entah kenapa ini rasa tersakit yang pernah aku raskan. "Gendis mana?" tanyaku. "Dia sekarang masih di ICU, dia koma dan butuh donor hati untuk bertahan hidup." jelas Prabu.
Saat Radit membawaku berjalan keluar kamar, aku duduk di kursi roda yang tak berdaya. "Dit, aku yakin aku nggak bakal bertahan, Jadi ambil hatiku untuk Gendis. Jangan komentar apa-apa Dit, inilah yang kupilih." Tuturku, Radit pun pergi tanpa sepatah katapun. Mungkin terlalu menusuknya kataku barusan.
Minggu pagi entah kenapa tubuhku terasa hangat dan berat. Hanya Radit yang bisa ku pandang. "Dit, berikan hatiku untuknya." tuturku untuk terakhir kalinya dan setelah itu kupejamkan mataku.
*
"Bu, aku mau ngomong sama amu." hardik Radit pada Prabu yang sedang ngobrol dengan Gendis di kampus. " Apa sih Dit?" tanya Prabu. "Jasmine, hati yang ada di dalam tubuh Gendis itu punya Jasmine." kata Radit. "Ha?" . "Sebenernya Jasmine udah lama mendem rasa suka ke kamu, tapi ya, mungkin Jasmine udah ngerasa bakal kayak gini jadinya ya jadi mungkin dia emang mau kamu sama Gendis berakhir bahagia." tutur Radit. Prabu langsung lari meninggalkan Radit dan pergi entah kemana. "Jasmine." tutur Prabu di depan makam Jasmine sambil memegang batu nisan yang bertuliskan nama Jasmine. "Makasih, aku yakin, hatiku, hatimu, dan hatinya akan tetap bersama."